Kian hari semakin hilang rasa nasionalisme para penduduk di Indonesia.
Banyak cakap yang kita jumpai mengenai motivasi untuk menumbuhkan
nasionalisme namun apakah kita menjumpai tindakan dari nasionalisme
tersebut? Remaja juga mulai mengalami degradasi moral yang salah satunya
karena lunturnya rasa nasionalisme. Mengapa demikian?
Sejarah
menunjukkan tiga tonggak sejarah Indonesia yang harus diperingati,
yaitu tanggal 17 Agustus, tanggal 19 September, dan tanggal 28 Oktober.
Jika warga Indonesia sekarang dihadapkan dengan pertanyaan “19 September
hari apa? 28 Oktober hari apa?”. Tanggal 17 Agustus jelas semua warga
Indonesia mengetahui itu adalah tanggal Indonesia merdeka. Tanggal 19
September adalah tanggal rapat raksasa Ikada dan tanggal 28 Oktober
adalah tanggal sumpah pemuda. Ketiganya mempunyai esensi yang sama,
dimaana dari ketiganya dapat ditarik satu benang merah yang
menggambarkan sila ketiga Pancasila. Masih adakah pemuda yang menggagas
hal tersebut?
Pemuda era ini
sudah tidak seperti yang digambarkan sejarah. Generasi pelaku beberapa
peristiwa tersebut sudah tidak tercium lagi, dan generasi selanjutnya
sudah lupa bahkan
tidak menggagas permasalahan tersebut. Alhasil generasi muda Indonesia
seperti saat ini yang kita temui, hanya tahu tanggal kemerdekaan
Indonesia, dan kebanyakan tidak tahu tanggal-tanggal peristiwa penting
yang lainnya.
Hedonispun sudah menerpa, bukan lagi memulai tapi
sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada jiwa muda Indonesia, dan
alhasil saya mengakui bahwa nasionalisme pemuda luntur. Pola hidup
instan atau jalan pintas juga mulai dirasakan menjadi andalah para
kawula muda untuk mencapai keinginannya. Dari hal ini juga merembet pada
penyalahgunaan hak bersuara. Mereka lebih suka demo dan sikap anarki
daripada penyelesaian masalah dengan musyawarah menuju mufakat. Sekarang
yang lebih mudah ditemui seperti, main hakim sendiri hanya untuk
menunjukkan taring di masyarakat, penyaluran rasa tidak puas dengan
melakukan hal-hal yang bersifat destruktif, dan lebih parah ini menjadi
suatu kebiasaan yang sudah tabu di masyarakat.
Sejarah, bahasa, hukum adat,
pendidikan, dan kemauan, yang dulu pernah dilontarkan dalam Kongres
Pemuda oleh Mohammad Yamin sudah tidak kita dapati lagi. Bahwasanya 28
Oktober 1928 para pemuda Indonesia menyepakati kelima hal tersebut
adalah pilar-pilar yang membangun sila ketiga Pancasila, yaitu pilar
untuk menegakkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Dan saat ini tentunya
jika disadari kita sedang dibenturkan dengan permasalahan “apabila
generasi sebelumnya tidak mampu memberikan contoh yang baik, bagaimana
dengan generasi selanjutnya?”. Sedangkan yang sering menjadi pandangan
kita kedepan adalah tolak ukur dari apa yang kita lihat sekarang.
Apabila sekarang pemuda menjadikan konflik sebagai kebiasaan atau hobi
dan hanya berorientasi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, maka
jangan tercengang esok jika pemuda generasi mendatang akan berbuat lebih
dari itu karena itulah yang mereka lihat sekarang, mencontoh perbuatan
yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Benar kata Bung Karno bahwa
kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan. Disaat kita melewatinya, tidak
akan ada konflik maupun hambatan. Tetapi setelah kita sampai di ujung
jembatan yang lain, maka disitulah muncul konflik-konflik karena
permasalahan pribadi maupun kelompok. Lebih ironi konflik itu sengaja
dibuat untuk kepentingan tertentu.
Sebenarnya masih terdapat banyak cara untuk kita memperbaiki apa yang sudah terjadi dan menjadi gradasi moral
nasionalisme. Masih banyak hal positif yang masih bisa dilakukan oleh
pemuda Indonesia seusai melewati jembatan yang disebut oleh Soekarno.
Sebagai pelajar tentunya kita bisa mengisi kemerdekaan Indonesia dengan
hal positif. Salah satunya dengan belajar dengan tekun, saling bersaing
secara sehat untuk meraih prestasi setinggi mungkin, dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia. Di sisi lain dari
pendidikan, kita masih bisa mengisi kemerdekaan ini dengan mencintai
produk local, membanggakan produk lokal, mencintai budaya Indonesia, dan
masih banyak lagi hal positif yang bisa dilakukan.
Kehidupan
untuk mengabdi memang sulit untuk difahami, terkadang kita menganggap
itu menjadi misteri. Kita tentunya pernah mendengar cerita hidup para
pahlawan kemerdekaan yang sudah memberi contoh bahwa demi Indonesia
mereka rela mengorbankan apa saja, harta bahkan nyawanya. Seperti yang
dikiaskan Iwan Fals dalam lagu Oemar Bakri. Terkadang kita sulit
memahami pengorbanan dan pengabdiannya, dalam artian perjalanan hidup
sejumlah orang besar yang hidupnya memang sulit dipahami. Banyak orang
besar yang mengabdi untuk negeri, baik dalam bidang sosial, pendidikan,
agama, lingkungan, dan seni intinya di segala lini bidang kehidupan. Ada
yang berjuang menemani yang sakit sekarat karena tidak dipedulikan
orang lain. Ada juga yang tak gentar mendekati dan merawat yang sakit
karena kutukan leprosi. Bukan seperti yang terjadi pada Indonesia saat
ini, mengambil apa saja yang dapat diambil tanpa mempedulikan orang
lain, apalagi negara.
Pengabdian adalah kata yang sering dikumandangkan oleh para pemberi teladan, bukan saja karena ungkapan ini memang layak dijadikan landasan dan panutan, tetapi juga karena kata ini memang merupakan salah satu tolok ukur peradaban. Tanpa pengabdian manusia dan kemanusiaan akan kehilangan makna dan tujuan, dan yang tersisa adalah kerakusan dan keserakahan terpilin dalam satu jalinan. Kemanusiaan dan peradaban harus terus menjadikan perjuangan dan pengabdian bukan hanya sebagai landasan tetapi juga sebagai satu tolok ukur keberhasilan.
Pengabdian adalah kata yang sering dikumandangkan oleh para pemberi teladan, bukan saja karena ungkapan ini memang layak dijadikan landasan dan panutan, tetapi juga karena kata ini memang merupakan salah satu tolok ukur peradaban. Tanpa pengabdian manusia dan kemanusiaan akan kehilangan makna dan tujuan, dan yang tersisa adalah kerakusan dan keserakahan terpilin dalam satu jalinan. Kemanusiaan dan peradaban harus terus menjadikan perjuangan dan pengabdian bukan hanya sebagai landasan tetapi juga sebagai satu tolok ukur keberhasilan.
Mungkin
setelah itu akan muncul lagi pertanyaan. “Lantas bagaimana ciri
nasionalisme Indonesia?”. Tentunya dari pola piker dan mainset yang
berbeda akan menimbulkan jawaban yang luas pula. Tetapi esensi dasar
nasionalisme Indonesia adalah mengabdi kepada Bangsa dan Negara
Indonesia. Pengabdian ini tidak akan muncul seperti insting, tetapi
membutuhkan proses dan contoh. Bagi Bangsa Indonesia, pendidikan masih
menjadi solusi utama kawula muda Indonesia agar semangat nasionalisme
mereka bisa bertumbuh dan meningkat. Peningkatan ini harus kita
contohkan terlebih dahulu oleh generasi sekarang. Jangan hanya
menunjukkan perilaku yang semena-mena, menancapkan taring kekekaran
dengan tindakan destruktif yang bukan membuat Negara ini maju akan
tetapi malah membuat negara ini mundur.
Sekarang,
apa yang akan kita lakukan? Tentunya kembali ke kawula muda saat ini.
Apakah kita menginginkan Indonesia maju, stagna, atau mundur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar