Di Indonesia
tercinta ini, derita kemiskinan sudah bukan hal yang luar biasa. Jutaan
masyarakat hidup dalam taraf kemiskinan. Kurangnya lapangan kerja, kurangnya latar belakang pendidikian, menjadi salah satu
dari banyak faktor penyebabnya. Terlebih biaya hidup tinggi, biaya kesehatan tinggi, dan tidak kalah saing, biaya pendidikan yang begitu mencekik berkolaborasi. Alhasil begitu menyiksa rakyat Indonesia.
Namun, pemerintah tak tinggal diam melihat permasalahan tersebut. Pemerintah pusat maupun daerah membuat beberapa program yang tujuannya mengentaskan taraf kemiskinan penduduk atau setidaknya sedikit mengurangi beban penderitaan mereka.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan KMS atau Kartu Menuju Sejahtera. KMS diberikan khusus bagi warga Kota Yogyakarta saja, keseluruhan parameter yang digunakan untuk menentukan status penerima KMS tersebut terbagi dalam tujuh aspek. Antara lain, pendapatan dan aset, pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan sosial. Pendapatan rata-rata anggota keluarga setiap bulannya adalah kurang dari Rp150 ribu, kepala keluarga tidak bekerja, dan keluarga tidak mampu memberi makan anggota keluarga tiga kali sehari.
Pemilik KMS mendapatkan fasilitas kesehatan gratis di rumah sakit negeri, serta yang utama adalah pendidikan gratis bagi anak pemegang KMS. Tidak hanya pendidikan gratis, anak pemegang KMS juga mendapatkan JALUR KHUSUS untuk masuk ke sekolah negeri. Jadi, pihak sekolah negeri diwajibkan menyediakan kuota bagi siswa pemegang KMS. Meskipun saya kurang tahu presentase kuotanya, yang jelas setidaknya sekolah negeri menyediakan lebih dari 20 kursi untuk siswa KMS.
Para pemegang KMS di Yogyakarta, melakukan proses penerimaan siswa baru lebih awal dibanding siswa reguler. Karena saingannya sedikit, jadi penerima KMS memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk masuk ke sekolah negeri. Malah ironis dengan nem yang terbilang rendah, siswa KMS pun dapat masuk ke sekolah favorit di Yogyakarta. Enak sekali bukan??
Fenomena saya tulis berdasarkan apa yang saya lihat secara langsung. Ada seorang anak sebut saja Rian, kala itu Rian duduk di kelas 6 SD. Rian tidak termasuk anak cerdas di sekolah sehingga ia hanya mendapat nem 19,20 untuk 3 mata pelajaran UN. Tetapi dengan KMS yang dimilikinya, Rian mampu masuk ke SMP negeri paling favorit di Yogyakarta. Sedangkan siswa reguler paling tidak harus memiliki nem 28,00 untuk dapat masuk ke sekolah itu. Udah gratis, ada jalur khusus lagi. Hal itu yang membuat saya sedikit merasa geram, dulu ketika akan masuk SMA, nilai saya jauh lebih tinggi dibanding teman saya. Namun, dia bisa masuk ke sekolah yang saya inginkan dengan KMS yang ia. Sedangkan saya malah tidak diterima di sekolah itu. KMS memang menjadi jimat ampuh bagi pemiliknya.
Fenomena diatas hanyalah secuil dari problema KMS, sama halnya dengan bantuan-bantuan lain, proses pendataan penerima KMS pun tak luput dari kecurangan-kecurangan. KMS pun kadang seakan salah sasaran. Syarat penerima KMS pun seakan hanya menjadi formalitas belaka, karena kenyataan di lapangan, bahkan di depan mata saya sendiri banyak memegang KMS yang sebenarnya sangat tidak layak untuk dikatakan miskin.
Sebut saja Anisa, Anisa merupakan seorang pelajar SMA di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta. Ibunya seorang pedagang dan ayahnya seorang yang bekerja di dunia seni. Rumah Anisa memang kecil, namun keadaannya bisa dikatakan baik. Memiliki perabot elektronik yang normal dimiliki orang biasanya, dan bahkan memiliki gadget yang terbilang tak murah. Anisa memiliki seorang kakak dan adik, kesemuanya sekolah gratis dengan KMS sakti yang dimiliki. Anisa ke sekolah dengan motor keluaran terbaru, di dalam sakunya terdapat blackberry miliknya, sedangkan di dalam tas juga ia membawa netbook miliknya, uang sakunya pun bahkan lebih tinggi dibanding teman-temannya. Sebenarnya dengan keadaan ekonomi keluarganya, saya rasa Anisa tidak layak dimasukkan sebagai penerima KMS. Namun entahlah, apa yang membuatnya tercatat sebagai daftar penerima KMS.
Ironis memang melihat itu semua, sehingga sekarang ini banyak orang yang berlomba-lomba terlihat "miskin" agar dapat menikmati fasilitas yang serba gratis. Menurut saya data penerima KMS juga harus senantiasa di pembaharui, bila ada kejanggalan sebaiknya harus segera dicabut dan dikasihkan kepada yang lebih membutuhkan. Di bilang miskin juga enggak, mendapat fasilitas kesehatan gratis, mendapat pendidikan gratis, memiliki jalur khusus lagi untuk masuk sekolah negeri.
Repost: kompasiana.com
Namun, pemerintah tak tinggal diam melihat permasalahan tersebut. Pemerintah pusat maupun daerah membuat beberapa program yang tujuannya mengentaskan taraf kemiskinan penduduk atau setidaknya sedikit mengurangi beban penderitaan mereka.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan KMS atau Kartu Menuju Sejahtera. KMS diberikan khusus bagi warga Kota Yogyakarta saja, keseluruhan parameter yang digunakan untuk menentukan status penerima KMS tersebut terbagi dalam tujuh aspek. Antara lain, pendapatan dan aset, pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan sosial. Pendapatan rata-rata anggota keluarga setiap bulannya adalah kurang dari Rp150 ribu, kepala keluarga tidak bekerja, dan keluarga tidak mampu memberi makan anggota keluarga tiga kali sehari.
Pemilik KMS mendapatkan fasilitas kesehatan gratis di rumah sakit negeri, serta yang utama adalah pendidikan gratis bagi anak pemegang KMS. Tidak hanya pendidikan gratis, anak pemegang KMS juga mendapatkan JALUR KHUSUS untuk masuk ke sekolah negeri. Jadi, pihak sekolah negeri diwajibkan menyediakan kuota bagi siswa pemegang KMS. Meskipun saya kurang tahu presentase kuotanya, yang jelas setidaknya sekolah negeri menyediakan lebih dari 20 kursi untuk siswa KMS.
Para pemegang KMS di Yogyakarta, melakukan proses penerimaan siswa baru lebih awal dibanding siswa reguler. Karena saingannya sedikit, jadi penerima KMS memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk masuk ke sekolah negeri. Malah ironis dengan nem yang terbilang rendah, siswa KMS pun dapat masuk ke sekolah favorit di Yogyakarta. Enak sekali bukan??
Fenomena saya tulis berdasarkan apa yang saya lihat secara langsung. Ada seorang anak sebut saja Rian, kala itu Rian duduk di kelas 6 SD. Rian tidak termasuk anak cerdas di sekolah sehingga ia hanya mendapat nem 19,20 untuk 3 mata pelajaran UN. Tetapi dengan KMS yang dimilikinya, Rian mampu masuk ke SMP negeri paling favorit di Yogyakarta. Sedangkan siswa reguler paling tidak harus memiliki nem 28,00 untuk dapat masuk ke sekolah itu. Udah gratis, ada jalur khusus lagi. Hal itu yang membuat saya sedikit merasa geram, dulu ketika akan masuk SMA, nilai saya jauh lebih tinggi dibanding teman saya. Namun, dia bisa masuk ke sekolah yang saya inginkan dengan KMS yang ia. Sedangkan saya malah tidak diterima di sekolah itu. KMS memang menjadi jimat ampuh bagi pemiliknya.
Fenomena diatas hanyalah secuil dari problema KMS, sama halnya dengan bantuan-bantuan lain, proses pendataan penerima KMS pun tak luput dari kecurangan-kecurangan. KMS pun kadang seakan salah sasaran. Syarat penerima KMS pun seakan hanya menjadi formalitas belaka, karena kenyataan di lapangan, bahkan di depan mata saya sendiri banyak memegang KMS yang sebenarnya sangat tidak layak untuk dikatakan miskin.
Sebut saja Anisa, Anisa merupakan seorang pelajar SMA di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta. Ibunya seorang pedagang dan ayahnya seorang yang bekerja di dunia seni. Rumah Anisa memang kecil, namun keadaannya bisa dikatakan baik. Memiliki perabot elektronik yang normal dimiliki orang biasanya, dan bahkan memiliki gadget yang terbilang tak murah. Anisa memiliki seorang kakak dan adik, kesemuanya sekolah gratis dengan KMS sakti yang dimiliki. Anisa ke sekolah dengan motor keluaran terbaru, di dalam sakunya terdapat blackberry miliknya, sedangkan di dalam tas juga ia membawa netbook miliknya, uang sakunya pun bahkan lebih tinggi dibanding teman-temannya. Sebenarnya dengan keadaan ekonomi keluarganya, saya rasa Anisa tidak layak dimasukkan sebagai penerima KMS. Namun entahlah, apa yang membuatnya tercatat sebagai daftar penerima KMS.
Ironis memang melihat itu semua, sehingga sekarang ini banyak orang yang berlomba-lomba terlihat "miskin" agar dapat menikmati fasilitas yang serba gratis. Menurut saya data penerima KMS juga harus senantiasa di pembaharui, bila ada kejanggalan sebaiknya harus segera dicabut dan dikasihkan kepada yang lebih membutuhkan. Di bilang miskin juga enggak, mendapat fasilitas kesehatan gratis, mendapat pendidikan gratis, memiliki jalur khusus lagi untuk masuk sekolah negeri.
Repost: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar